FOXPOP.TV, Bandung, Aliansi Masyarakat Sipil Jawa Barat yang terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung, Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Bandung (FKPMB), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Perhimpunan Bantuan Hukum & HAM Indonesia (PBHI) Jawa Barat, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat, mengecam segala bentuk represivitas aparat.
Dalam dua hari terakhir, Kamis (22/8) dan Jumat (23/8), gelombang kemarahan sipil berlangsung dalam ujud demonstrasi di beberapa daerah di Indonesia, termasuk Kota Bandung. Aksi tersebut antara lain dipicu suatu muslihat Badan Legislasi DPR yang berupaya menganulir putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024. Lebih dari itu, demonstrasi masyarakat sipil di Bandung sejatinya bagian dari puncak kemuakan atas rentetan praktik penghancuran demokrasi yang terjadi sepanjang rezim Jokowi (Mulyono).
Jalan Diponegoro, persisnya depan Gedung DPRD Jawa Barat, menjadi titik bara di Kota Bandung. Diperkirakan ribuan masyarakat sipil ragam latar belakang telah ramai turun ke jalan membawa kekecewaannya masing-masing, mengutuk segala kebusukan suatu rezim yang hendak merancang suatu kuasa atas dasar keuntungan segelintir elite saja, seakan enteng mempermainkan nasib-nasib khalayak dalam ketidakpastian hukum.
Isu kemiskinan, perampasan ruang hidup, perusakan lahan dan lingkungan, kelaliman pejabat dan penegak hukum korup, plus politikus rakus kekuasaan pun turut diteriakan masyarakat dalam aksi menggugat negara di jalanan.
Tapi demonstrasi seolah dibalas tabiat represif aparat kepolisian yang selama ini masih berulang, dan sama sekali tak bisa dibenarkan. Begitu kuat dugaan, kekerasan terhadap masyarakat sipil itu dilakukan tidak hanya oleh polisi berseragam, tapi juga oleh aparat tak berseragam seumpama ormas-ormas preman.
Aliansi Masyarakat Sipil Jawa Barat pun mengamati, kekerasan polisi dilakukan lewat berbagai cara, dari mulai pengamanan berlebihan, penembakan gas air mata, penganiayaan fisik seperti pemukulan memakai benda keras, pengeroyokan, pengepungan, pengejaran dan penyisiran terhadap massa yang telah membubarkan diri, intimidasi verbal, pelarangan liputan, dan perlakuan-perlakuan brutal lainnya. Paramedis, Pembela HAM, Jurnalis, Mahasiswa, dan Ratusan Masyarakat Sipil Lainnya jadi Korban Brutalitas Aparat.
Dalam laporan sementara Aliansi Masyarakat Sipil Jawa Barat hingga Jumat malam, diduga korban kekerasan mencapai ratusan orang. Saat demonstrasi hari Kamis, misalnya, korban yang sempat dievakuasi ke kampus Unisba mencapai 16 orang. Dalam laporan lainnya, sebanyak 7 orang dilarikan ke rumah sakit. Sekira 25 orang ditangkap polisi dan sebanyak 2 orang diduga jadi korban penyanderaan kendaraan.
Jumlah korban di hari Jumat justru semakin bertambah. Sekitar 100 orang diduga jadi korban kekerasan. Sebanyak 88 orang diketahui mengalami luka-laku, dan 1 orang harus dilarikan ke rumah sakit. Ada 12 orang lainnya yang ditangkap polisi.
Patut dicatat, kasus riil di lapangan mungkin lebih banyak daripada angka yang terdata Aliansi Masyarakat Sipil Jawa Barat. Kiranya penting pula dipahami, terlepas besar-kecilnya angka kasus yang tertera dirilis ini, bahwa kekerasan polisi tetaplah kekerasan, suatu kebrutalan aparat negara terhadap masyarakat sipil itu tak bisa ditolerir.
Ramai dalam pemberitaan media massa, salah satu korban adalah mahasiswa Universitas Bale Bandung (Unibba) bernama Andi Andriana. Ia mengalami kebutaan, mata kiri hancur terkena lemparan batu. Penting dicatat, sebagaimana pengakuan pihak BEM, batu itu dilempar dari arah barisan polisi saat demonstrasi hari Kamis. Memang pelaku pelemparan belum dapat dipastikan, tetapi kepolisian kiranya perlu menelusuri kasus ini secara serius, jujur dan transparan, begitupun terhadap kasus-kasus kekerasan lainnya.
Dari pantauan Aliansi Masyarakat Sipil Jawa Barat, kekerasan itu tidak hanya dialami massa aksi tapi juga pihak-pihak lain yang turut berada di seputaran lokasi unjuk rasa, seperti paramedis, pembela HAM atau human rights defender, serta jurnalis.
Deti Sopandi, pembela HAM (human rights defender) PBHI Jawa Barat menjadi korban kekerasan. Kejadian ini menegaskan bahwa pembela HAM tidak hanya kerap diadang polisi dalam melakukan pembelaan bantuan hukum, kini juga mendapatkan serangan represif. Aparat pun seolah tak menghargai kerja-kerja kemanusiaan dengan mengintimidasi, melakukan kekerasan fisik, terhadap paramedis.
Jurnalis tak luput dari kekerasan, termasuk pers mahasiswa (persma). Represi itu diduga banyak dilakukan oleh aparat tak berseragam, dari mulai penghalangan atau pelarangan dokumentasi, upaya pengusiran dari lokasi liputan, perampasan alat atau perlengkapan kerja, penghapusan hasil dokumentasi, kekerasan fisik seperti pemukulan memakai bambu atau kayu, hingga intimidasi verbal.
Kekeerasan terhadap wartawan contohnya dialami Alza Ahdira, jurnalis Pikiran Rakyat, pada hari Kamis. Ketika hendak mengambil motornya yang terparkir di sekitaran Gedung DPRD Jawa Barat, ia tiba-tiba dikerubungi 5 orang tak dikenal berpakaian bebas. Mulanya, para pelaku secara kasar hendak merampas gawai milik Alza, mereka meminta agar Alza menghapus semua dokumentasi aksi. Alza berusaha mempertahankan alat kerjanya itu, tapi karena merasa terancam ia pun terpaksa menghapus hasil dokumentasinya. Id pers milik Alza juga dirampas, bahkan kepala bagian belakangnya dipukul memakai bambu. Padahal, Alza mencirikan diri dengan memakai pakaian khusus kantor Pikiran Rakyat, menunjukan id pers dan menegaskan secara langsung bahwa dirinya adalah jurnalis. Namun, “orang-orang tak dikenal itu”, tak menghiraukannya.
Di hari yang sama, pelarangan pengambilan gambar dan intimidasi verbal juga diakui setidaknya oleh 5 jurnalis dari media yang berbeda. Mereka mengakui sempat mendengar nada ancaman penangkapan terhadap mereka. Intimidasi juga dialami jurnalis Majalaya.id ketika tengah live streaming.
Sejumlah anggota dari berbagai Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) pun mengalami hal serupa. Tercatat, ada 5 kasus kekerasan jurnalis kampus yakni dialami anggota Isola POS UPI, Lokatara Tel-U, Jurnalpos UIN, Keluarga Mahasiswa Jurnalistik (KMJ) Unisba, Daunjati ISBI. Mereka diteriaki “anjing”, “goblok”, dipukul pentungan dan kayu, adapula yang gawainya direbut lalu dibanting ketika tengah merekam massa aksi yang dipukuli.
Selama ini, aparat kepolisian seperti tak bosan berulah melakukan kekerasan terhadap jurnalis, seolah tutup mata bahwa mereka seharusnya menghargai bahkan turut melindungi serta tunduk pada hukum yang mengatur kebebasan jurnalis dalam meliput sebagaimana diatur dalam UU Pers Nomor 40 Tahun 1999.
Penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian ketika aksi demonstrasi di Bandung adalah tindakan pelanggaran hukum dan melanggar peraturan internal Kapolri itu sendiri. Dalam peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 jelas disebutkan bahwa pihak kepolisian tidak boleh terpancing, tidak boleh arogan, tidak boleh melakukan kekerasan bahkan di saat situasi kerumunan massa tidak terkendali. Polisi harus berhenti melakukan kekerasan kepada masyarakat sipil termasuk ketika berdemonstrasi.
Setiap kekerasan, represi dan brutalitas aparat merupakan tindakan yang merusak nilai-nilai kemanusiaan, demokrasi, juga ancaman yang begitu nyata terhadap keselamatan serta kebebasan masyarakat sipil. Menurut kami, tangan dan kaki mereka yang dilumuri kekerasan itu adalah bentuk pengkhianatan atas semboyannya sendiri tentang “melindungi”, “mengayomi”. Kami masyarakat sipil bersama-sama tak akan jemu untuk tegak mengecam dan melawan setiap tindakan kekerasan yang sedemikian massif dan terus berulang itu.
Maka melalui siaran pers ini, Aliansi Masyarakat Sipil Jawa Barat mengutuk tindakan brutal polisi terhadap masyarakat sipil di Kota Bandung, dan menegaskan sikap bersama:
1. Mengecam segala bentuk represivitas aparat.
2. Mendesak Kapolri mengevaluasi perilaku dan tindakan brutal anak buahnya dalam menghadapi aksi massa.
3.Mendesak semua pihak terutama kepolisian menghormati kerja-kerja jurnalis termasuk persma sesuai UU Pers.
4.Mendesak pihak kepolisian turut menjaga keselamatan paramedis dan pembela HAM.
5.Mendesak pihak kepolisian secara serius menghargai kebebasan berpendapat sebagai bagian dari HAM, bukan malah menyempitkan ruang kebebasan sipil tersebut.***